Maraknya keluhan kasus pelecehan di lingkungan kampusmendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Untuk mengurangisekaligus mencegah terjadinya kekerasan seksual di lingkungankampus dibutuhkan hukum yang dapat menjadi payung bagi korban kekerasan seksual. Namun setelah disahkan oleh Menteri Pendidikan, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 menuai kontradari beberapa pihak.
Nadiem Anwar Makarim, menjelaskan, “Saat ini belum adakerangka hukum yang di mana banyak dosen dan rektor berbicarakepada saya mengenai masalah ini, tapi mereka kadang-kadangtidak tahu cara untuk mengambil tindakan karena belum dikasihpayung hukum yang jelas“. Jadi latar belakang dibentuknyaPermendikbud ini adalah 27% kasus terjadi di perguruan tinggi darikeseluruhan pengaduan kekerasan seksual yang berasal darilembaga pendidikan dan kekosongan hukum dalam pencegahan, penanganan, dan perlindungan korban kekerasan seksual di lingkungan kampus.
plt. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, menyampaikan hal yang sama seperti yang disampaikan oleh Nadiem Makarim. Nizam mengungkapkan, dirinya hampir setiapminggu mendapatkan keluhan dari mahasiswa soal kekerasanseksual yang terjadi di kampus. Namun, selama itu pula korban takberani melaporkan kejadian pelecehan seksual yang terjadi. Iamenambahkan “selama 1,5 tahun kita bahas, kita rumuskan akhirnyaterumuskan didalam Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 yang penekanannya nomor satu adalah pencegahan”
Berbanding terbalik dengan harapan yang mendasari disahkannyaPermendikbud No. 30 Tahun 2021 beberapa tokoh masyarakat dan pejabat pemerintahan menyatakan ketidaksetujuan terhadapdisahkannya Permendikbud No. 30 Tahun 2021
Lincolin Arsyad, yang merupakan Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah menyebutkanbahwa Pasal 5 Permendikbud PPKS bisa berimplikasi selama tidakada pemaksaan, penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah.
Sedangkan menurut Majelis Ormas Islam (MOI), PermendikbudPPKS ini mengadopsi draf lama Rancangan Undang-UndangPenghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), yakni melegalkanzina. Pandangan Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, adalah mengenai muatan PermendikbudPPKS yang bertentangan dengan syariat, Pancasila, UUD 1945, dan nilai-nilai budaya bangsa.
Disamping adanya kontra, beberapa tanggapan yang mendukungperaturan baru ini berasal dari
MY Esti Wijayati, Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PDIP yang menyatakan Permendikbudristek ini tidak bisa diartikan sebagaibentuk pelegalan terhadap terjadinya hubungan seksual suka samasuka di luar pernikahan, juga tak bisa disebut melegalkan LGBT.
Selain itu, Bivitri Susanti sebagai Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera menjelaskankeberadaan kata ‘persetujuan‘ dalam aturan pencegahan kekerasanseksual itu
berfungsi untuk membedakan apakah peristiwa yang terjadimerupakan kekerasan atau bukan. Kata ‘persetujuan‘ atau consentdalam dua aturan itu tidak lantas diartikan bahwa PermendikbudPPKS maupun RUU TPKS membolehkan seks bebas atauperzinaan. Larangan seks bebas dan zina, sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dari pandangan beberapa mahasiswa Universitas Sumatera Utarayang ditanyakan oleh Kastrad Times, mereka menyatakan pro terhadap adanya Permendikbud ini. Ruth Hartanti Yamolai Dachimerupakan mahasiswa aktif Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, ia berpendapat bahwaPermendikbudristek no 30/2021 itu perlu diberlakukan berdasarkankasus pelecehan seksual di lingkungan perguruan tinggi yang marakterjadi, belakangan ini satu kasus terungkap di salah satu Universitas negeri yang dilakukan oleh dekanatnya sendiri terhadapmahasiswinya. Penyintas baru berani speak up setelah sekian lama karena rasa takut, takut bisa berpengaruh di perkuliahannya (initerbukti dengan dia tidak diyudisium karena dia speak up, meskipunakhirnya tetap yudisium berkat BEM dan mahasiswa lainnya yang bergerak melakukan demo). Dia juga takut karna dia hanyamahasiswi yang tidak bisa dan tidak tahu ingin melakukan tindakanapa karena tidak ada petunjuk jika terjadi pelecehan di lingkungankampus, si penyintas harus melakukan apa untuk mendapatkanhaknya. Itu hanya salah satu contoh kasus yang terungkap. apakabar dengan kasus-kasus lain yg dibungkam?
Lebih lanjut ia menambahkan bahwa Permendikbudristek inimenuai kontorversi karena bunyi dari pasal 5 mencakup frasa“tanpa persetujuan korban” yang dianggap seolah jika tidak adapaksaan berarti pelecehan itu boleh terjadi dan seperti melegalkanperzinahan di lingkungan kampus. Menurutku tidak semua yang tidak diatur dalam peraturan perundangan berarti menjadi boleh, kanmasih banyak norma-norma lain selain norma hukum, ada normakesusilaan, norma keagamaan yang bisa kita jadikan pedoman. Jadi bukan berarti satu perbuatan yang melanggar norma-norma tersebuttetapi tidak diatur dalam suatu peraturan perundang-undanganmenjadikan perbuatan itu boleh dilakukan. Selain itu balik lagi kejudul dari peraturan ini, yakni hanya mengatur tentang bagaimanacara mencegah dan menindak kekerasan seksual di kampus, bukanmembahas persoalan lain diluar dari judul tersebut.
Untuk lebih memperdalam pemahaman mengenai PermendikbudNo. 30 Tahun 2021, Kastrad Times meminta tanggapan dari MikhaelFerdinan Imanuel Panjaitan yang merupakan Mahasiswa FakultasHukum Universitas Sumatera Utara. Ia menjelaskan Permendikbud30 Tahun 2021 ini bisa dijadikan payung hukum utkmenindaklanjuti kasus pelecehan seksual. Sebab perlu, diperhatikanbahwa sebelumnya tidak ada regulasi yang melindungi korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. PadahalIndonesia adalah negara hukum sebagaimana Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 dan mengingat amanat Konstitusi Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diripribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungandari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatuyang merupakan hak asasi. Sehingga ini dapat menjadi payunghukum.
Pada Pasal 5 ini menjadi perdebatan karena ada frasa “tanpapersetujuan korban”, seolah-olah kalau dibalikkan, kalau “setuju” bukan kekerasan seksual, begitu kan? Pertama, Pasal 5 ayat (2) itumenuliskan :Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat(1) meliputi:….” Kata “meliputi” itu adalah suatu penjabaran, bukannorma larangan atau norma perintah, melainkan norma definitifyang kalau dibalikkan tidak akan nyambung.
Kedua, frasa “tanpa persetujuan korban” adalah untuk memberikanruang pembuktian kepada korban bahwa korban benar-benarmengalami kekerasan di luar kehendaknya. Berarti kalau setujubukan kekerasan seksual dong? tetap kekerasan seksual, apalagikalau terpaksa. Namun terkadang pengalaman korban dimentahkanoleh aparat penegak hukum. Adanya frasa “tanpa persetujuankorban” ini dapat menjadi salah satu unsur pembuktian dalamhukum pidana. Bagaimana cara membuktikannya? nanti dariketerangan psikologis yang keterangan tersebut membutuhkanpengalaman korban, sehingga pengalaman korban tidakdimentahkan atau dinegasikan lagi oleh aparat penegak hukum. Sehingga apabila terbukti dari keterangan psikologis bahwa benarkorban mengalami kekerasan, maka unsur pembuktian dapatterpenuhi. Frasa “tanpa persetujuan korban” dapat mengisikekosongan pembuktian tindak pidana kekerasan seksual.
Perihal melakukan hubungan seksual atas dasar saling setuju itutetap dapat dipidanakan, misalnya dalam Pasal 284 KUHP, yaituapabila salah satu pelaku terikat perkawinan, Pasal 287 jo. Pasal 290 KUHP yaitu perzinaan dengan seorang wanita, padahal diketahuiatau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum 15 tahun, ataukalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa belum masanya untukkawin.
Namun berdasarkan asas legalitas, hubungan seksual dengan dasarkesepakatan bersama antara laki-laki dan perempuan yang belummenikah, namun sudah dewasa, memang tidak dapat dipidanakarena belum diatur dalam KUHP kita. Hal ini dikarenakan KUHP kita merupakan peninggalan Belanda sehingga sudah cukup usangdan memang perlu direvisi. Sehingga, balik lagi ke permendikbud30 Tahun 2021, tidak benar kalau permendikbud tersebutmelegitimasi perbuatan seksual atas persetujuan.